Kasus Bank Bali dan 10 Tokoh Pemimpin Negara Terkorupsi
KASUS BANK BALI
Salah satu drama paling getir dalam
gelombang krisis moneter 1997-1998 adalah skandal cessie Bank Bali. Skandal ini
menyangkut sejumlah nama besar, mulai Gubernur Bank Indonesia, sejumlah
pejabat negara, tokoh partai Golkar seperti Setya Novanto, bahkan menyerempet
nama Presiden RI ketiga, BJ Habibie.
Bahkan
dalam kasus ini, Rudy Ramli - Direktur Utama Bank Bali yang juga anak
kandung Djaya Ramli, pendiri Bank Bali - menjadi pesakitan dan duduk sebagai
tersangka. Proses hukum Bank Bali sungguh berliku, dan sebenarnya belum
benar-benar tuntas hingga saat ini. Sementara nama Bank Bali sudah lama mati.
Skandal bank bali ini bermula saat Direktur
Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam
di brankas Bank Dagang Nasionai Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan
Bank Tiara pada tahun 1997 dengan total piutang sebesar Rp 3 triliun.
Berikut kronologi kasus Bank Bali menurut Indonesian
Corruptions Watch (ICW)
26
Januari 1998
Terbit
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang jaminan atas kewajiban
pembayaran bank umum. Keputusan ini untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap
perbankan akibat likuidasi bank pada 1997.
8
Maret 1998
Pemerintah
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama BPPN dan BI, Nomor 1/BPPN/1998 dan Nomor
30 /270/KEP/DIR berisi petunjuk pelaksanaan penjaminan.
18
Maret 1998
Bank
Bali mengirim surat ke BDNI untuk minta konfirmasi soal utang-utangnya yang
jatuh tempo pada 2 Maret 1998 sampai 16 Maret 1998 (6 transaksi).
9
Juli 1998
Tim
manajemen BDNI melalui suratnya menyatakan, klaim atas kewajiban BDNI ke Bank
Bali sudah diajukan ke BPPN.
21
Oktober 1998
Bank
Bali kirim surat ke BPPN perihal tidak terbayarnya tagihan piutang di BDNI dan
BUN yang timbul dari transaksi money market, SWAP, dan pembelian promissory
notes. Tagihan pada BDNI (belum dihitung bunga) Rp 428,25 miliar dan US$ 45
juta. Sedangkan tagihan ke BUN senilai Rp 200 miliar.
27
Oktober 1998
BI
menyampaikan secara tertulis ke tim pemberesan BDNI tentang penolakan untuk
memproses lebih lanjut klaim Bank Bali dengan alasan klaim belum didaftar dan
terlambat mengajukan klaim, satu klaim tidak terdaftar, dan satu klaim ditolak
karena tidak termasuk dalam jenis kewajiban yang dijamin (transaksi
forward-sell) senilai Rp 1,131 miliar.
23
Desember 1998
Bank
Bali kembali mengirim surat ke BPPN perihal tagihan piutang ke BDNI dan BUN
tidak kunjung berhasil. Bank Bali juga meminta BPPN membantu memecahkan masalah
ini.
11
Januari 1999
Bank
Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian pengalihan (cessie) tagihan
piutang ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09
miliar. Disepakati paling lambat tiga bulan kemudian tagihan itu sudah
diserahkan ke Bank Bali. Kemudian, Bank Bali juga menandatangani perjanjian
cessie dengan Direktur Utama PT Era Giat Prima Setya Novanto. Bank Bali menjual
seluruh tagihan pinjaman antarbanknya di BDNI, BUN, dan Bank Bira ke PT EGP.
Total tagihan itu mencapai Rp 3 triliun.
12
Januari 1999
Wakil
Ketua BPPN Pande Lubis mengirim surat ke Bank Bali. Isinya, BPPN sedang
mengumpulkan dan mempelajari data mengenai transaksi Bank Bali untuk mencari
pemecahan masalah.
15
Februari 1999
BPPN
meminta bantuan BI untuk melakukan verifikasi atas tagihan Bank Bali ke BDNI
dan BUN dari segi kewajaran dan kebenarannya.
16
Februari 1999
BI
tolak usulan Pande Lubis untuk meneliti kembali klaim Bank Bali karena sebelumnya
BI sudah menyatakan secara administrasi tidak berhak.
18
Februari 1999
Pande
Lubis mengeluarkan memo kepada Erman Munzir yang berisi usulan untuk memeriksa
ulang klaim Bank Bali. Erman kemudian mengaku telah minta Direktur UPMB I
memprioritaskan klaim Bank Bali.
22
Maret 1999
BI
melakukan verifikasi terhadap tagihan-tagihan Bank Bali ke BDNI dan BUN.
Hasilnya, antara lain, tidak ditemukan indikasi ketidakbenaran dan
ketidakwajaran transaksi SWAP, forward dan L/C antara Bank Bali dengan BDNI, transaksi
pembelian promes yang di-endorse BUN belum sesuai dengan prinsip praktek
perbankan yang berhati-hati.
29
Maret 1999
PT
EGP memberikan surat kuasa ke Bank Bali untuk dan atas nama PT EGP menagih ke
BUN piutang beserta bunganya sebesar Rp 342,919 miliar dan mengkreditkannya ke
rekening perusahaan itu. Hal serupa dilakukan terhadap penagihan piutang
beserta bunganya ke BDNI yang besarnya Rp 1, 277 triliun dan mengkreditkannya
ke rekening PT EGP.
1
April 1999
Bank
Bali mengirim surat ke BPPN. Isinya ralat tentang jumlah tagihan ke BDNI dan
BUN.
9
April 1999
BPPN
menolak klaim tagihan Bank Bali terhadap BUN. Pengecualian terhadap BDNI. Meski
begitu, harus ada persetujuan dari Bank Indonesia atau Menteri Keuangan.
14 mei
1999
Revisi Surat
Keputusan Bersama Program Penjaminan Pemerintah:
-
Keterlambatan
administratif bisa diterima selama tagihan valid,
-
Pengajuan klaim dapat
dilakukan oleh salah satu pihak, baik debitor atau kreditor,
-
Ketidakberlakuan
penjaminan diperluas sehingga mencakup kewajiban yang berasal dari pihak
terkait,
-
Dana publik yang
berasal dari perusahaan Asuransi dan Dana pensiun dikeluarkan dari kelompok
pihak terkait,
1
Juni 1999
BPPN meminta BI
melakukan pembayaran dana antarbank BB sebesar Rp 904 miliar. Dana Rp 904
miliar dari BI mengucur ke rekening BB di BI (piutang berikut bunganya).
3
Juni 1999
BPPN
instruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke
sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke
rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra
di BNI Kuningan, 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan)
9
Juni 1999
Setelah
uang keluar dari BI, janji PT EGP menyerahkan surat-surat berharga pemerintah
yang harusnya jatuh tempo pada 12 Juni 1999 malah diubah dalam perjanjian
penyelesaian. Isinya, Bank Bali agar memindahbukukan dana sebesar Rp 141 miliar
ke PT EGP. Alasannya, tagihan Bank Bali dari BI hanya Rp 798 miliar, sehingga
dikurangkan saja dengan uang yang mengalir dari BI sebesar Rp 904 miliar.
20
Juli 1999
Standard
Chartered Bank melaporkan hasil due diligence dan menemukan:
· Terjadi
tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank sebesar Rp 546 miliar
sehubungan dengan klaim antarbank sebesar Rp 905 miliar
· Adanya
usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen, BPPN menolak untuk menerima
kerugian tambahan tersebut sebagai bagian dari rekapitalisasi
23
Juli 1999
Penyerahan Bank
Bali dari Bank Indonesia ke BPPN berdasarkan SK Gubernur BI no 1/14/Kep
Dpg/1999 menyusul terlampauinya batas waktu pencapaian kesepakatan antara
Standard Chartered Bank dan pemegang saham Bank Bali
30
Juli 1999
Ahli
hukum perbankan Pradjoto membeberkan jaringan money politics, dalam transaksi
penagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI, BUN dan Bank Bira senilai Rp 3 triliun,
yang melibatkan Setya Novanto (Dirut PT EGP), dengan dugaan adanya dukungan
sejumlah pejabat tinggi negara.
5
Agustus 1999
BPPN
membentuk tim investigasi di bawah pengawasan International Review Committee
untuk menginvestigasi kebenaran transaksi cessie, meneliti dasar hukumnya,
menelaah proses pengambilan keputusan atas transaksi, melakukan pemeriksaan,
penelitian, pengumpulan data, dan penyelidikan terhadap pengalihan dana yang
dilakukan Bank Bali ke PT EGP.
27
September 1999
Pejabat
sementara Jaksa Agung Ismudjoko SH mengungkapkan, tim penyidik Kejaksaan Agung
yang dipimpin ketua tim Pengkaji Pidana Khusus Ridwan Mukiat siap menyidik
skandal Bank Bali dengan mencoba memanggil orang-orang yang diduga terkait
dalam kasus Bank Bali.
7
Oktober 1999
Presiden BJ
Habibie telah menyetujui pemeriksaan tiga pejabat tinggi di kabinet waktu itu,
salah satunya Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, sebagai saksi dalam
kasus skandal Bank Bali.
29
November 1999
Kejaksaan
Agung menyatakan telah menerima surat izin pemeriksaan Syahril Sabirin.
Pemeriksaan Syahril menjadi menarik setelah Wakil Dirut Bank Bali Firman
Soetjahja saat diperiksa tim penyidik mengakui adanya pertemuan di Hotel Mulia
pada 11 Februari 1999 yang membahas soal cessie.
5
Juni 2000
Gubernur
BI Syahril Sabirin resmi jadi tersangka kasus Bank Bali. Dia dipersalahkan
tidak menerapkan prinsip kehati-hatian yang merupakan prinsip perbankan.
21
Juni 2000
Syahril Sabirin
ditahan di Kejaksaan Agung.
28
Agustus 2000
Majelis
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Soedarto membebaskan Joko
dari tuntutan hukum. Majelis berpendapat, kasus Joko bukan termasuk pidana,
melainkan perdata. Sebelumnya, jaksa Antasari Azhar menuntutnya 18 bulan
penjara.
28
Juni 2001
Mahkamah
Agung kembali memenangkan Joko S. Tjandra. Majelis Hakim Agung memperkuat
argumentasi majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, satu
anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar, mengajukan dissenting opinion dengan
menyatakan Joko bersalah melakukan korupsi.
13
Maret 2002
Syahril
Sabirin divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan
dihukum tiga tahun penjara.
Maret
2002
Mahkamah
Agung menolak gugatan EGP di PTUN yang meminta agar surat keputusan mengenai
pembatalan pengalihan tagihan Bank Bali ke EGP oleh BPPN dicabut.
Agustus
2002
Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta membebaskan Syahril Sabirin dari semua dakwaan.
12 Juni
2003
Kepala
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata
agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama,
direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk minta petunjuk.
17 Juni
2003
Direksi
Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan.
19
Juni 2003
BPPN
minta fatwa MA dan penundaan eksekusi putusan MA yang membebaskan Joko S.
Tjandra. Alasannya, ada dua putusan MA yang bertentangan.
25 Juni
2003
Fatwa
MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya, MA tidak dapat ikut campur atas
eksekusi.
1 Juli 2003
Kepala
Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Antasari Azhar menyatakan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang
sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.
2 Maret 2004
Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus
Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana
senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Djoko Tjandra dan
politikus Partai Golkar Setya Novanto.
Oktober 2008
Kejaksaan
Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan
terdakwa Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.
11 Juni 2009
Majelis
Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara,
Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan
menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara
dua tahun, Djoko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko
Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk negara.
Imigrasi
juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus
cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI ini divonis 2
tahun penjara.
16 Juni 2009
Djoko
mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1
kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan,
sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.
Djoko
diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan
pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh
MA.
Juli 2012
Wakil
Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan
kewarganegaraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami
kesulitan.
12 Mei 2016
Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi yang Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Anna
Boentaran, istri Djoko Tjandra. Intinya, Jaksa tidak berhak mengajukan PK
karena PK sesuai Pasal 263 Ayat (1) KUHAP merupakan hak terpidana atau ahli
waris.
10 Tokoh Pemimpin Negara yang mengalami kasus Korupsi Terbesar
1. Joseph Estrada
Pria kelahiran 1937 ini, merupakan Presiden ke-13 Filipina periode 1998-2001. Saat menjadi presiden, beliau ketahuan menjarah uang negara sebesar 78 sampai 80 juta dolar atau sekitar Rp 1 triliun lebih. Hingga akhirnya ia dihukum beberapa tahun. Namun pada 2007, ia mendapatkan pengampunan tanpa syarat dari Presiden Gloria Macapagal Arroyo.
2. Arnoldo
Aleman
Arnoldo Aleman merupakan Presiden
Nicaragua pada tahun 1997 sampai tahun 2002. Saat ia menjadi seorang
presiden, Arnoldo melakukan korupsi senilai 100 juta dolar atau sekitar Rp
1,33 triliun. Karena ulahnya tersebut, seperti penggelapan uang,
pencucian uang, ia pun akhirnya dihukum selama 20 penjara.
3. Pavlo
Lazarenko
Pavlo Lazarenko memang bukanlah
Presiden Ukraina. Ia hanya seorang perdana menteri. Meskipun
begitu, ia pun ikut terlibat dalam kasus korupsi di negara Ukraina. Bahkan ia
melakukan tindak korupsi hanya dalam waktu singkat ia menjabat. Selama
setahun ia menjabat, mulai tahun 1996 sampai 1997, ia telah mengkorupsi
uang negara sebesar 114 sampai 200 juta dolar atau sekitar Rp 2,33 triliun.
4. Alberto
Fujiomoro
Pria kelahiran 1938 ini merupakan presiden
ke 90 dari negara Peru yang memiliki keturunan Jepang. Ia menjabat
mulai dari tahun 1990 sampai dengan 2000.
Meskipun
ia menciptakan sistem ekonomi yang stabil di Peru, namun ia melakukan
pemerintahan dengan otoriter dan menyalahgunakannya untuk korupsi.
Saat ia terlibat skandal korupsi, ia
sempat melarikan diri ke Jepang. Saat itu ia sempat membuat pengunduran
diri sebagai Presiden, namun pemerintah Peru, tetap ingin memberikan hukuman
kepada Fujimoro. Meskipun ia juga sempat kabur ke Chili, namun ia tetap
berhasil ditangkap dan akhirnya di extradisi ke Peru untuk dihukum. Selama
10 tahun menjabat, ia telah memakan uang rakyat sebesar 600 juta
dolar atau sekitar Rp 8,3 triliun.
5. Jean
Claude Duvalier
Pria ini merupakan presiden korup
yang berhasil mencuri uang negaranya sendiri, Haiti. Ia merupakan presiden
ke -30 yang mulai menjabat pada tahun 1971 sampai 1986. Selama menjadi
presiden, ia menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk uang negara dengan
jumlah angka yang cukup fantastis yakni sekitar 300 sampai 800 juta
dolar atau sekitar Rp 11 triliun.
6. Slobodan
Milosevic
Sepak terjang dari presiden
Serbia Yugoslavia ini, memang benar-benar gila.
Selama
11 tahun menjabat, mulai dari tahun 1989 sampai tahun 2000, ia melakukan tindak
korupsi yang cukup gila, yakni mengorupsi uang negara sebesar 1 miliar
dollar atau sekitar Rp 14,4 triliun.
Uang sebanyak itu, digunakannya
untuk kesenangan pribadi dan memperkaya dirinya sendiri. Namun aksinya
tersebut harus berakhir setelah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara.
7. Sani
Abcha
Mantan presiden Nigeria ini
merupakan salah satu presiden terkorup. Ia menyalahgunakan jabatannya untuk
mengeruk keuntungan pribadinya di tengah kelaparan yang melanda negaranya. Menjabat
selama lima tahun, mulai tahun 1993 sampai 1998 ia telah melakukan korupsi
sebesar 2 sampai 5 milyar dolar. Jika dirupiahkan sebesar Rp 66, 5 triliun.
8. Mobutu
Sese Seko
Presiden Zaire atau saat ini
lebih dikenal Kongo ini, telah puluhan tahun berkuasa. Bahkan masa
jabatannya, lebih lama dari Soeharto yang hanya 32 tahun. Ia berkuasa mulai
tahun 1969 sampai 1997. Selama menjabat sebagai presiden, ia telah mengorupsi
uang negara sebasar 5 miliar dollar. Jika dirupiahkan sebesar Rp 66,5
triliun.
9. Ferdinand
Marcos
Presiden Filipina yang
menjabat pada tahun 1972 sampai tahun 1986. Dalam masa pemerintahannya selama
14 tahun itu, ia memimpin dengan sifat diktator. Dan uang negara yang ia
korupsi untuk kepentingan pribadinya sebesar 5 sampai 10 miliar dollar.
Jika dirupiahkan uang tersebut benar-benar nilai yang begitu fantastis yakni
bernilai Rp 114 triliun.
10. Muhammad
Soeharto
Beliau merupakan mantan pemimpin
yang pernah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun di Indonesia pada tahun
1967-1998. Selama menjabat, ia seringkali menempatkan keluarganya dalam jajaran
jabatan penting. Bahan ia juga memberikan perusahaan-perusahaan besar
kepada anaknya. Diperkirakan ia melakukan tindakan untuk menguntungkan
pribadinya sebesar 15 sampai 35 dolar atau sekitar Rp 465 triliun.
Daftar Pustaka
http://www.tempo.co/read/news/2004/03/04/05540304/Kronologi-Skandal-Bank-Bali
https://lipsus.kontan.co.id/v2/perbankan/read/325/skandal-bank-bali-kongkalikong-berbau-politik
https://news.detik.com/berita/d-1149511/lika-liku-joko-tjandra-dan-kasus-cessie-bank-bali
https://malangtimes.com/baca/38471/20190421/092400/10-pemimpin-negara-terkorup-sepanjang-masa-siapa-juaranya
Komentar
Posting Komentar